Abstract :
Mekanisme ian Konflik Nelayan
Faizin Sulistio
Secara teoritik dalam dunia pendidikan ada dua standar yang seharusnya dikuasai oleh peserta didik sehingga tujuan dari pendidikan itu tercapai, yaitu :
Standar akademik (academic content standars)
Standar ini merefleksikan pengetahuan dan ketrampilan esensial setiap disiplin ilmu yang harus dipelajari ole peserta didik
Standar kompetensi (Performance standars)
Standar ini ditunjukkan dalam bentuk proses atau hasil yang didemonstrasikan peserta didik sebagai penerapan pengetahuan dan ketrampilan yang telah dipelajari.
Dari sini dapat dilihat bahwa setiap peserta didik minimal dua komponen standar yang harus dimiliki berupa wawasan tentang pengetahuan sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuninya maupun kompetensi yang harus dikuasanya.
Menurut Andi Ansarullah kompetensi merupakan gabungan dari hard skill dan soft skill yang harus dimiliki oleh peserta secara terintegrasi. Kemampuan Hard skill disini meliputi 1 :
Knowledge of Field ; merupakan kemampuan peserta didik menguasai lapangan pengetahuan sesuai dengan bidang yang ditekuni.
Knowledge of Technologi; merupakan ketrampilan berkaitan dengan tekhnologi informasi yang seharusnya dikuasai oleh peserta didik.
Sedang kemampuan soft/life skill meliputi :
Oral communication skill
Merupakan kemampuan peserta didik untuk melakukan komunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa lisan. Bahasa lisan disini meliputi kemampuan retorika, ekspresi maupun body language.
Written Communication skill
Merupakan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi yang dituangkan dengan bahasa tulis. Untuk seorang calon ahli hukum kemampuan menuangkan dalam bahasa tulisan sangat dibutuhkan berkaitan dengan bahasa hukum yang mempunyai ke “khas” an tersendiri.
Logical Skill
Merupakan kemampuan peserta didik untuk menggunakan logika berpikir yang benar sehingga diharapkan tidak terjadi sesat piker karena penggunaan logika yang keliru.
Analitycal skill
Merupakan kemampuan untuk menganalisa fakta-fakta sesuai dengan pemikiran yang logis dan kritis.
Ability to work in team setting
Merupakan kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan orang lain dalam membangun sebuah tim.
Ability to work independently
Merupakan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sendiri tanpa harus megharapkan bantuan dari orang lain.
Sedang Prof Mukhadis memberikan pengertian kompetensi sebagai demontrasi terintegrasi dari kelompok ketrampilan dan sikap yang dapat diamati dan diukur dari pekerjaan tertentu dan tingkatan tertentu2. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa kompetensi merupakan kecakapan teknikal dan kognitif yang harus dimiliki oleh peserta didik yang dipandu oleh kecakapan afektif berupa nilai-nilai yang memandu peserta didik dalam bersikap dan berperilaku. Kompetensi yang berupa sikap batinia, mentalistik dan sosiopsikologik terwujud dalam keberdayaan dan kesanggupan dalam memecahkan masalah. Hal ini dapat diukur dan diamati melalui kinerja dan ketrampilan dari peserta didik.
E. Mulyasa (2005) memberikan tiga landasan pendidikan berdasarkan kompetensi3, yaitu :
Adanya pergeseran pembelajaran dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajaran individual. Dengan pembelajaran secara individual diharapkan peserta didik dapat belajar sendiri tanpa tergantung orang lain. Hal ini membuat peserta didik belajar dengan cara dan kemampuannya masing-masing.
Pengembangan konsep belajar tuntas (mastery learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery) adalah suatu falsafah tentang pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan system pembelajaran yang tepat semua peserta didik akan dapat belajar dengan hasil yang baik dari seluruh bahan yang diberikan.
Penyusunan kembali definisi bakat. Dengan ini diharapkan dengan waktu yang cukup semua peserta didik dapat menguasai seluruh bahan.
Berkaitan dengan pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik maka dirasa perlu pendekatan metode pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) sehingga pernyataan tujuan (goal statement) yang di ingin capai peserta didik dengan menggambarkan hasil belajar pada aspek kognitif, teknikal dan sikap secara terintegrasi dapat terwujud.
Pembelajaran menurut Prof Mukhadis merupakan upaya memfasilitasi individu, kelompok secara sistematik dan bertujuan dengan strategi yang cocok dengan mengacu pada kondisi dan hasil agar muncul prakarsa tindak belajar4. Arif Rachman mengatakan bawa pembelajaran yang selama ini terjadi mempunyai cirri-ciri sebagai berikut5 :
Tujuan pembelajaran hanya sebatas pada penguasaan keilmuan yang ditekuni;
Dalam proses pembelajaran hanya terpusat pada guru (teacher centered)
Proses berpikir yang diterapkan pada mahasiswa berupa menghapal dan mengetahui;
Tempat yang digunakan dalam proses belajar mengajar berupa system klasikal atau dalam kampus
Pertanyaan yang sering dimunculkan dalam proses belajar ini berkisar pada : “apa”, “siapa”, “dimana”, dan bagaimana;
Evaluasi hasil belajar yang digunakan dengan menggunakan tes tertulis dan biasanya menggunakan multiple choice atau benar-salah.
Pendekatan kurikulum yang dilakukan berbasis Fungsional dengan karakteristik sebagai berikut :
Behavior approach;
Set criteria of success/failure;
Fixed obyectives;
Structured
Kognitif, measureable
Rigid
Dalam perkembangannya pendekatan pembelajaran dengan system konvensional tersebut ternyata kurang memuaskan para pihak. Hal ini berkaitan dengan output yang di hasilkan dari proses pembelajaran ini kurang kreatif dan cenderung menggantungkan pada orang lain serta kurang terpenuhinya kompetensi yang diinginkan. Arif Rachman menawarkan perubahan proses pembelajaran yang lebih memberi ruang pada kretivitas pada peserta didik untuk menumbuhkan motivasi dan inovasi. Perubahan konsep pembelajaran tersebut antara lain6 :
Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai tidak hanya sebatas penguasaan keilmuan melainkan menemukan ilmu;
Proses pembelajaran yang dikedepankan bukan teacher centered melainkan pupil centered (berorientasi pada peserta didik)
Proses berpikir yang diterapkan menekankan kretif, inovatif dan imaginatif
Tempat yang digunakan dalam proses pembelajaran tidak hanya dalam ruang kelas juga dengan observasi dilapangan;
Pertanyaan yang dimunculkan dalam proses pembelajaran “bagaimana Kalau”
Problem Based learning (Pembelajaran berbasis masalah) merupakan pembelajaran terpusat melalui masalah-masalah yang relevan. Terpusat karena berisi scenario, tema, unit yang menempatkan kembali pada pembelajaran yang di inginkan. Tujuan dalam proses pembelajaran ini kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah, menguraikan masalah dan merevisinya ketika melakukan presentasi akan menambah informasi sesuai kompetensinya.
Menurut A. Mukhadis7 Problem Based Learning atau Pembelajaran berbasis masalah merupakan strategi pembelajaran dalam konteks kehidupan nyata ysng berorientasi pemecahan masalah dengan memanfaatkan berpikir kritis, sintetik, dan praktikal melalui pemanfaatan nultiple intelligences dengan membiasakan belajar ‘bagaimana belajar” .Dari paparan ini dapat dilihat bahwa PBL merupakan sebuah strategi pembelajaran yang memanfaatkan masalah-masalah yang actual sesuai dengan bidang keilmuannya secara terintegrasi melalui pemanfaatan kecerdasan-kecerdasan manusia meliputi IQ,EQ maupun SQ untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif dari peserta didik.
Dari sini dapat diketahui bahwa tujuan Pembelajaran berbasis masalah adalah8 :
Pemecahan masalah secara efektif efesien, menarik, terintegrasi, fleksibel
pemecahan masalah dengan penuh inisiatif dan antusias
kemampuan belajar mandiri dan menjadi habit dalam kehidupan sehari-hari
mampu berkolaborasi secara efektif, efesien dan menarik dalam sebuah kerja tim
Ciri dari Pembelajaran berbasis masalah (PBL) sebagai berikut :
Menggunaan masalah sebagai fakta das sollen serta alternative solusi yang dapat dilakukan;
memfokuskan pada interdisiplin keilmuan;
menggunakan penyelidikan secara otentik
Self and Peer Assesment
Hasil solusi akhir dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam proses pembelajaran berbasis masalah peran pembelajaran harus saling menunjang antara mahasiswa/peserta didik dengan dosen. Peran yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran ini antara lain9 :
memunculkan problem statement dalam bentuk ill-structured, open ended dan ambiguous.
memfasilitasi identifikasi What we know
memfasilitasi problem statement (ruang problem yang lebih spesifik)
memfasilitasi identifikasi what we need to problem solving
memfasilitasi dalam menetapkan alternative tindakan dan alternative menyajikan laporan
Andi ansharullah mempunyai pendapat peran dosen dalam proses pembelajaran ini, yaitu10 :
Menetapkan Tujuan Instruksional dari mata kuliah yang diajarkan
Membuat bahan ajar/modul yang membantu dalam proses pembelajaran
membuat disain “masalah”
Membuat scenario proses pembelajaran
Memberikan “Que recognition” untuk membuat formula “masalah”
Melakukan klarifikasi
Sedangkan mahasiswa dalam proses pembelajaran ini mempunyai peran antara lain :
membuat formula masalah
membuat sebuah hipotesis sesuai dengan bahan ajar
menetapkan sasaran pembelajaran berdasarkan TIK
Melakukan strategi inquiry
Presentasi hasil belajar
Metode Pengembangan dan Strategi Pelaksanaan
Metode belajar yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam proses belajar PBL ini adalah dengan metode inquiry yang secara harfiah mempunyai arti penyelidikan.Carin dan sund memberi pengertian inquiry adalah the process of investigating a problem11. Sedangkan Piaget memberikan pengertian bahwa metode inquiry merupakan metode yang mempersiapkan peserta didik pada situasiuntuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan temuan mahasiswa/peserta didik yang lain.
Sikap mental yang ada dalam metode inquiry antara lain :
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena dan fakta-fakta;
Merumuskan masalah yang ditemukan;
Merumuskan hipotesis;
Merancang dan melakukan eksperimen;
Mengumpulkan dan menganalisis data;
Menarik kesimpulan.
Dalam proses pengajaran mengenai PBL ini metode inquiry yang digunakan adalah metode inquiry bebas yang dimodifikasi (modified free inquiry), pada metode ini dosen memberikan permasalahan atau problem yang ill-structured, open-ended dan ambiguous, kemudian mahasiswa diminta untuk memecahkan masalah melalui pengamatan, eksplorasi dan prosedur penelitian.
Daftar Pustaka
Andi Ansharullah, Problem Based Learning, Best Practices dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw, 25-26 Januari 2006
A.Mukhadis, Problem Based Learning dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw, 25-26 Januari 2006
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional menciptakan Pembelajaran kreatif dan menyenangkan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005
------------------, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi
Arief Rachman, Profesionalisme Guru dan Dosen, Makalah disajikan dalam seminar di Poltekkes Malang, 26 januari 2006
1 Andi Ansharullah,Problem Based learning, Best practices dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw,25-26 Januari 2006
2 A.Mukhadis, Problem Based learning dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw,25-26 Januari 2006
3 E. Mulyasa,Menjadi Guru Profesional menciptakan Pembelajaran kreatif dan menyenangkan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005.
4 ibid
5 Arief Rachman,Profesionalisme Guru dan Dosen, Maklah disajikan dalam seminar di Poltekkes Malang,26 januari 2006.
6 ibid
7 A.Mukhadis, Op. cit
8 ibid
9 A. Mukhadis, Op. cit
10 Andi Ansharullah,Op.cit
11 Carin dan sund dalam E. Mulyasa, Op. cit
Oleh : Faizin Sulistio[1]
Tulisan sederhana ini mencoba menggambarkan relevansi dan urgen-nya penggunaan optik sosial dalam membedah keilmuan hukum khususnya dalam aspek hukum pidana. Aspek ini saya coba ambil mengingat pada saat ini sedang menekuni hukum pidana.
Bagi sebagian orang hukum, hukum pidana mungkin yang paling kaku dalam pengkajian hukum. Hal ini merupakan pengaruh kuat dari asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana khususnya pasal 1 ayat 1 yang berbunyi :
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan “
Asas ini membawa sebuah konsekuaensi dalam melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan, yaitu harus bertumpu pada :
(1) Suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
Pandangan ini mempunyai dua makna, yaitu pertama, hukum hanya yang tertulis dalam undang-undang. Aturan hidup atau norma yang tidak tertulis bukan merupakan hukum. Kedua, larangan adanya analogi dalam hukum pidana.
(2) Peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Hal ini membawa konsekuensi adanya larangan retroaktiv (Sudarto, 1990: 22-23).
Dalam perkembangan asas legalitas sebenarnya sebenarnya mulai melunak dengan memberi ruang bahwa hukum bukan hanya yang tertulis, seperti yang tercermin dalam :
a. UU No. 1 Drt. 1951 Pasal 5 (3) sub b
o bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum;
o bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hu-kuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
b. UU Kekuasaan Kehakiman No. 4/2004 :
o Pasal 25 (1) : Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
o Pasal 28 (1) : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
c. Pasal 18B (2) UUD’45 (amandemen ke-2) :
Negara mengakui dan meng-hormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Akan tetapi, adanya jaminan undang-undang tentang pengakuan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat ternyata tidak serta merta membuat akademisi dan praktisi hukum mencoba mengurai hukum dalam perspektif yang lebih luas diluar hukum (sosiologis, Antropologis dsb). Istilah Satjipto Rahardjo masih terbelenggu pikiran normative-Positivis, yaitu pemikiran yang mengesampingkan hukum sebagai fenomena yang lebih besar, melampaui batas-batas positivis.
Belenggu pemikiran normative positivis ternyata menyebabkan keterpurukan dalam hukum, sehingga untuk keluar dari keterpurukan hukum maka harus membebaskan diri dari belenggu positivis. Hal ini karena pemikiran positivis-legalistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) tidak akan pernah mampu dan dapat menangkap hakikat kebenaran (Ahmad Ali, 2002 :48). Sehingga perlu ada pemikiran yang responsive terhadap rasa keadilan dalam masyarakat untuk mencari dan mengurai benang keadilan dan kebenaran. Pemikiran ini dilandasi bahwa bangunan hukum dibangun oleh hubungan antar manusia sebagai hubungan sosial antar individu dengan keseluruhan variasi dan kompleksitasnya yang cenderung sifatnya asimetris. Dalam artian hukum tunduk pada kekuatan sentripetal yang menciptakan keteraturan,sekaligus tunduk pada kekuatan sentrifugal yang menciptakan ketidakteraturan (disorder), chaos maupun konflik. Sehingga hukum tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang kaku (formal-legalistik-positivis) tetapi harus lentur memperhatikan fakta dan realitas sosial ( Charles Stamford, 1989 :223).
Hal inilah yang sebenarnya ingin dicapai oleh penganut pemikiran yang melintasi batas positivis antara lain socio legal studies yang berprinsip bahwa hukum bukan berada dalam ruang kosong dan hampa yang steril dari aspek atau sistem yang lain. Hal ini berangkat dari pemikiran berikut :
1. Hukum (tertulis) merupakan produk politik, karena merupakan produk politik maka bisa jadi terdapat agenda politik didalamnya. Dalam teori hukum hal ini sejalan dengan pemikiran fungsi hukum : Law as a tool of social control dan Law as a tool of social engineering yaitu sebagai alat untuk mengontrol dan menghegemoni rakyat sesuai dengan selera penguasa.
2. Sebagai produk politik bisa jadi hukum kurang mendapat legitimasi secara sosiologis dari masyarakat, sebagai contoh : RUU Pornografi dan Pornoaksi yang banyak melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan.
3. Pengaruh negara asing dengan hukum liberal yang kurang sesuai dengan budaya masyarakat sangat terasa dalam proses pembuatan perundang-undangan maupun dalam proses penegakan hukum. Sebagai contoh: RUU tentang PMA, contoh lain akhir-akhir ini polisi gencar melakukan razia terhadap warnet-warnet dan conter HP yang diduga memakai sofware bajakan sekaligus menangkap pengelolanya dengan tuduhan pelanggaran terhadap UU Merek.
4. Penegak Hukum mempunyai ekspektasi dan Orientasi yang dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial-politik dan lingkungannya. Proses penegakan hukum akhirnya hanya tebang pilih selaras dengan agenda politik.
5. Secara Khusus dalam hukum pidana (KUHP) merupakan warisan kolonial yang sudah saatnya secara substansi disesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia.
Untuk itu, khususnya dalam penegakan hukum pidana tidak hanya sekedar memenuhi kehendak undang-undang atau aturan tertulis., melainkan harus melihat nilai sosiologis-rasional yang menghendaki hukum mempunyai utility dan equity.
Hal inilah yang saya kira perlu dan penting disampaikan dalam proses pembelajaran mahasiswa hukum, sehingga ketika menjadi praktisi hukum tidak menggunakan kaca mata kuda dalam menerapkan bunyi text undang-undang.
DAFTAR RUJUKAN :
Ahmad Ali, 2002 . Keterpurukan Hukum di Indonesia penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta
Charles Stamford, 1989. The Disorder of law : A Critique of legal theory, basil Blackwell, New York, USA.
Sudarto, 1990. Hukum Pidana I, yayasan Sudarto, FH Undip, Semarang
Satjipto Raharjo,2000. Teaching Order Finding Disorder, Universitas Diponegoro, Semarang.
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "