Konflik Nelayan

Mekanisme Penyelesaian Konflik Nelayan
Di Pantai Puger Kabupaten Jember

Oleh:
Setiawan Nurdayasakti
Aan Eko Widiarto
Faizin Sulistio

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl. MT Haryono No 169

Abstract :

Interaction among fisherman in the activity of fishing is potential to result conflict. Factor of the conflict can be related to the area of fishing, equipments of fishing and attitudes. These kinds of conflict can be categorized as horizontal conflict. Besides, vertical conflict can also happen in the community of fisherman. The conflicts happen among the fisherman and government. Policies of the government, especially the policies that are not in accordance with the fisherman need can be the factor of conflicts. The policy of the government, especially local government that is not in accordance with the fisherman need is the policy to explore the natural resourches. This policy is based on the government need to increase the income.This research ants to learn the mechanisms that are applicated by the fishermen to solve the conflict. They have their own internal mechanism to solve the conflict. This kind of mechanism have raised among their community since long time ago.
Key word: conflict, fisherman

Mekanisme ian Konflik Nelayan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PROBLEM BASED LEARNING DAN ALTERNATIF PEMBELAJARAN

Faizin Sulistio

KONSEP PENGEMBANGAN

Secara teoritik dalam dunia pendidikan ada dua standar yang seharusnya dikuasai oleh peserta didik sehingga tujuan dari pendidikan itu tercapai, yaitu :

  1. Standar akademik (academic content standars)

Standar ini merefleksikan pengetahuan dan ketrampilan esensial setiap disiplin ilmu yang harus dipelajari ole peserta didik

  1. Standar kompetensi (Performance standars)

Standar ini ditunjukkan dalam bentuk proses atau hasil yang didemonstrasikan peserta didik sebagai penerapan pengetahuan dan ketrampilan yang telah dipelajari.

Dari sini dapat dilihat bahwa setiap peserta didik minimal dua komponen standar yang harus dimiliki berupa wawasan tentang pengetahuan sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuninya maupun kompetensi yang harus dikuasanya.

Menurut Andi Ansarullah kompetensi merupakan gabungan dari hard skill dan soft skill yang harus dimiliki oleh peserta secara terintegrasi. Kemampuan Hard skill disini meliputi 1 :

  • Knowledge of Field ; merupakan kemampuan peserta didik menguasai lapangan pengetahuan sesuai dengan bidang yang ditekuni.

  • Knowledge of Technologi; merupakan ketrampilan berkaitan dengan tekhnologi informasi yang seharusnya dikuasai oleh peserta didik.

Sedang kemampuan soft/life skill meliputi :

  • Oral communication skill

Merupakan kemampuan peserta didik untuk melakukan komunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa lisan. Bahasa lisan disini meliputi kemampuan retorika, ekspresi maupun body language.

  • Written Communication skill

Merupakan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi yang dituangkan dengan bahasa tulis. Untuk seorang calon ahli hukum kemampuan menuangkan dalam bahasa tulisan sangat dibutuhkan berkaitan dengan bahasa hukum yang mempunyai ke “khas” an tersendiri.

  • Logical Skill

Merupakan kemampuan peserta didik untuk menggunakan logika berpikir yang benar sehingga diharapkan tidak terjadi sesat piker karena penggunaan logika yang keliru.

  • Analitycal skill

Merupakan kemampuan untuk menganalisa fakta-fakta sesuai dengan pemikiran yang logis dan kritis.

  • Ability to work in team setting

Merupakan kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan orang lain dalam membangun sebuah tim.

  • Ability to work independently

Merupakan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sendiri tanpa harus megharapkan bantuan dari orang lain.

Sedang Prof Mukhadis memberikan pengertian kompetensi sebagai demontrasi terintegrasi dari kelompok ketrampilan dan sikap yang dapat diamati dan diukur dari pekerjaan tertentu dan tingkatan tertentu2. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa kompetensi merupakan kecakapan teknikal dan kognitif yang harus dimiliki oleh peserta didik yang dipandu oleh kecakapan afektif berupa nilai-nilai yang memandu peserta didik dalam bersikap dan berperilaku. Kompetensi yang berupa sikap batinia, mentalistik dan sosiopsikologik terwujud dalam keberdayaan dan kesanggupan dalam memecahkan masalah. Hal ini dapat diukur dan diamati melalui kinerja dan ketrampilan dari peserta didik.

E. Mulyasa (2005) memberikan tiga landasan pendidikan berdasarkan kompetensi3, yaitu :

  1. Adanya pergeseran pembelajaran dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajaran individual. Dengan pembelajaran secara individual diharapkan peserta didik dapat belajar sendiri tanpa tergantung orang lain. Hal ini membuat peserta didik belajar dengan cara dan kemampuannya masing-masing.

  2. Pengembangan konsep belajar tuntas (mastery learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery) adalah suatu falsafah tentang pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan system pembelajaran yang tepat semua peserta didik akan dapat belajar dengan hasil yang baik dari seluruh bahan yang diberikan.

  3. Penyusunan kembali definisi bakat. Dengan ini diharapkan dengan waktu yang cukup semua peserta didik dapat menguasai seluruh bahan.

Berkaitan dengan pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik maka dirasa perlu pendekatan metode pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) sehingga pernyataan tujuan (goal statement) yang di ingin capai peserta didik dengan menggambarkan hasil belajar pada aspek kognitif, teknikal dan sikap secara terintegrasi dapat terwujud.

Pembelajaran menurut Prof Mukhadis merupakan upaya memfasilitasi individu, kelompok secara sistematik dan bertujuan dengan strategi yang cocok dengan mengacu pada kondisi dan hasil agar muncul prakarsa tindak belajar4. Arif Rachman mengatakan bawa pembelajaran yang selama ini terjadi mempunyai cirri-ciri sebagai berikut5 :

  1. Tujuan pembelajaran hanya sebatas pada penguasaan keilmuan yang ditekuni;

  2. Dalam proses pembelajaran hanya terpusat pada guru (teacher centered)

  3. Proses berpikir yang diterapkan pada mahasiswa berupa menghapal dan mengetahui;

  4. Tempat yang digunakan dalam proses belajar mengajar berupa system klasikal atau dalam kampus

  5. Pertanyaan yang sering dimunculkan dalam proses belajar ini berkisar pada : “apa”, “siapa”, “dimana”, dan bagaimana;

  6. Evaluasi hasil belajar yang digunakan dengan menggunakan tes tertulis dan biasanya menggunakan multiple choice atau benar-salah.

  7. Pendekatan kurikulum yang dilakukan berbasis Fungsional dengan karakteristik sebagai berikut :

  • Behavior approach;

  • Set criteria of success/failure;

  • Fixed obyectives;

  • Structured

  • Kognitif, measureable

  • Rigid

Dalam perkembangannya pendekatan pembelajaran dengan system konvensional tersebut ternyata kurang memuaskan para pihak. Hal ini berkaitan dengan output yang di hasilkan dari proses pembelajaran ini kurang kreatif dan cenderung menggantungkan pada orang lain serta kurang terpenuhinya kompetensi yang diinginkan. Arif Rachman menawarkan perubahan proses pembelajaran yang lebih memberi ruang pada kretivitas pada peserta didik untuk menumbuhkan motivasi dan inovasi. Perubahan konsep pembelajaran tersebut antara lain6 :

  1. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai tidak hanya sebatas penguasaan keilmuan melainkan menemukan ilmu;

  2. Proses pembelajaran yang dikedepankan bukan teacher centered melainkan pupil centered (berorientasi pada peserta didik)

  3. Proses berpikir yang diterapkan menekankan kretif, inovatif dan imaginatif

  4. Tempat yang digunakan dalam proses pembelajaran tidak hanya dalam ruang kelas juga dengan observasi dilapangan;

  5. Pertanyaan yang dimunculkan dalam proses pembelajaran “bagaimana Kalau”

Problem Based learning (Pembelajaran berbasis masalah) merupakan pembelajaran terpusat melalui masalah-masalah yang relevan. Terpusat karena berisi scenario, tema, unit yang menempatkan kembali pada pembelajaran yang di inginkan. Tujuan dalam proses pembelajaran ini kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah, menguraikan masalah dan merevisinya ketika melakukan presentasi akan menambah informasi sesuai kompetensinya.

Menurut A. Mukhadis7 Problem Based Learning atau Pembelajaran berbasis masalah merupakan strategi pembelajaran dalam konteks kehidupan nyata ysng berorientasi pemecahan masalah dengan memanfaatkan berpikir kritis, sintetik, dan praktikal melalui pemanfaatan nultiple intelligences dengan membiasakan belajar ‘bagaimana belajar” .Dari paparan ini dapat dilihat bahwa PBL merupakan sebuah strategi pembelajaran yang memanfaatkan masalah-masalah yang actual sesuai dengan bidang keilmuannya secara terintegrasi melalui pemanfaatan kecerdasan-kecerdasan manusia meliputi IQ,EQ maupun SQ untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif dari peserta didik.

Dari sini dapat diketahui bahwa tujuan Pembelajaran berbasis masalah adalah8 :

  1. Pemecahan masalah secara efektif efesien, menarik, terintegrasi, fleksibel

  2. pemecahan masalah dengan penuh inisiatif dan antusias

  3. kemampuan belajar mandiri dan menjadi habit dalam kehidupan sehari-hari

  4. mampu berkolaborasi secara efektif, efesien dan menarik dalam sebuah kerja tim

Ciri dari Pembelajaran berbasis masalah (PBL) sebagai berikut :

  1. Menggunaan masalah sebagai fakta das sollen serta alternative solusi yang dapat dilakukan;

  2. memfokuskan pada interdisiplin keilmuan;

  3. menggunakan penyelidikan secara otentik

  4. Self and Peer Assesment

  5. Hasil solusi akhir dapat dipertanggung jawabkan.

Dalam proses pembelajaran berbasis masalah peran pembelajaran harus saling menunjang antara mahasiswa/peserta didik dengan dosen. Peran yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran ini antara lain9 :

  1. memunculkan problem statement dalam bentuk ill-structured, open ended dan ambiguous.

  2. memfasilitasi identifikasi What we know

  3. memfasilitasi problem statement (ruang problem yang lebih spesifik)

  4. memfasilitasi identifikasi what we need to problem solving

  5. memfasilitasi dalam menetapkan alternative tindakan dan alternative menyajikan laporan

Andi ansharullah mempunyai pendapat peran dosen dalam proses pembelajaran ini, yaitu10 :

  1. Menetapkan Tujuan Instruksional dari mata kuliah yang diajarkan

  2. Membuat bahan ajar/modul yang membantu dalam proses pembelajaran

  3. membuat disain “masalah”

  4. Membuat scenario proses pembelajaran

  5. Memberikan “Que recognition” untuk membuat formula “masalah”

  6. Melakukan klarifikasi

Sedangkan mahasiswa dalam proses pembelajaran ini mempunyai peran antara lain :

  1. membuat formula masalah

  2. membuat sebuah hipotesis sesuai dengan bahan ajar

  3. menetapkan sasaran pembelajaran berdasarkan TIK

  4. Melakukan strategi inquiry

  5. Presentasi hasil belajar

Metode Pengembangan dan Strategi Pelaksanaan

Metode belajar yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam proses belajar PBL ini adalah dengan metode inquiry yang secara harfiah mempunyai arti penyelidikan.Carin dan sund memberi pengertian inquiry adalah the process of investigating a problem11. Sedangkan Piaget memberikan pengertian bahwa metode inquiry merupakan metode yang mempersiapkan peserta didik pada situasiuntuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan temuan mahasiswa/peserta didik yang lain.

Sikap mental yang ada dalam metode inquiry antara lain :

  1. mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena dan fakta-fakta;

  2. Merumuskan masalah yang ditemukan;

  3. Merumuskan hipotesis;

  4. Merancang dan melakukan eksperimen;

  5. Mengumpulkan dan menganalisis data;

  6. Menarik kesimpulan.

Dalam proses pengajaran mengenai PBL ini metode inquiry yang digunakan adalah metode inquiry bebas yang dimodifikasi (modified free inquiry), pada metode ini dosen memberikan permasalahan atau problem yang ill-structured, open-ended dan ambiguous, kemudian mahasiswa diminta untuk memecahkan masalah melalui pengamatan, eksplorasi dan prosedur penelitian.


Daftar Pustaka

Andi Ansharullah, Problem Based Learning, Best Practices dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw, 25-26 Januari 2006

A.Mukhadis, Problem Based Learning dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw, 25-26 Januari 2006


E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional menciptakan Pembelajaran kreatif dan menyenangkan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005

------------------, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi

Arief Rachman, Profesionalisme Guru dan Dosen, Makalah disajikan dalam seminar di Poltekkes Malang, 26 januari 2006



1 Andi Ansharullah,Problem Based learning, Best practices dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw,25-26 Januari 2006

2 A.Mukhadis, Problem Based learning dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3 Unibraw,25-26 Januari 2006

3 E. Mulyasa,Menjadi Guru Profesional menciptakan Pembelajaran kreatif dan menyenangkan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005.

4 ibid

5 Arief Rachman,Profesionalisme Guru dan Dosen, Maklah disajikan dalam seminar di Poltekkes Malang,26 januari 2006.

6 ibid

7 A.Mukhadis, Op. cit

8 ibid

9 A. Mukhadis, Op. cit

10 Andi Ansharullah,Op.cit

11 Carin dan sund dalam E. Mulyasa, Op. cit

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tinjauan Yuridis arbitrase Online sebagai alternatif Penyelesaian sengketa E-Commerce

Oleh :
Faizin Sulistio,SH
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model arbitrase on-line di akui keabsahannya dan mempunyai kekuatan yuridis menurut hukum yang berlaku di Indonesia.Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis.Sehingga kemudian diperoleh hasil bahwa arbitrase online sah dengan kriteria:1) perjanjian arbitrase online sah secara hukum karena telah memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang disebutkan secara limitatif dalam pasal 1320 KUHPerdata dan UU No 30 tahun 1999 yaitu :a) Informasi elektronik dalam bentuk data-data elektronik yang dapat berupa teks, gambar, suara ditafsirkan sebagai bentuk tertulis.b)tanda tangan digital dipersamakan dengan tanda tangan konvensional. Sedangkan kekuatan hukum arbitrase online mengikat secara hukum dengan menafsirkan secara ektensif bahwa data elektronik dan tanda tangan elektronik merupakan sebuah alat bukti tertulis seperti yang disyaratkan oleh aturan perundang-undangan.
Kata Kunci : Altetnatif Penyelesaian Sengketa

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Ashadi siregar penggabungan komputer dan teknologi komunikasi melahirkan suatu fenomena yang mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional,dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi ketiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris (hard reality), dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan dimensi ketiga merupakan kenyataan maya(virtual).
Perubahan perilaku interaksi bagi sebagian orang yang menguasai teknologi ini kemudian menjalar kebagian-bagian lain dalam kehidupan manusia menjadi sebuah nilai-nilai baru yang diakui dan hidup dalam masyarakat (living law). Nilai-nilai ini akan membentuk instumen-instrumen hukum baru terkait dengan perbuatan hukum yang dilakukan seseorang. Perbuatan hukum tersebut mulai dari berkorespondensi sampai dengan hubungan bisnis dengan memanfaatkan teknologi ini. Hal lain yang mendorong pelaku bisnis untuk memanfaatkan jasa internet sebagai media kontak bisnis, kontrak dan melakukan transaksi ialah murah, efektif dan efesiannya model bisnis ini dibanding model konvensional.
Namun model bisnis ini ternyata mempunyai beberapa permasalahan hukum yang muncul. Transaksi yang dilakukan tidak sama dengan model bisnis konvensional yang melibatkan konfirmasi tertulis atau verbal dalam setiap kesepakatan yang dibuat. Dalam model ini komunikasi yang terjadi melalui sinyal-sinyal elektronik. Hal ini berpengaruh pada metode yang diambil jika terjadi suatu sengketa yang terjadi. Dalam model bisnis yang melewati yurisdiksi Negara biasanya alternative penyelesaian sengketa yang diambil adalah metode arbitrase yang menjembati kepentingan hukum dengan sistem hukum yang berbeda. Pemasalahannya metode arbitrase yang ada ternyata masih menggunakan model konvensional yang mengharuskan pihak-pihak yang bersengketa untuk bertemu secara langsung, padahal dalam e-bussines pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum berasal dari berbagai belahan dunia.
Disinilah diperlukan sebuah metode arbitrase yang dapat menjembatani berbagai kepentingan hukum dengan sistem yang berbeda, berbiaya murah, efesien dan efektif. Salah satu terobosannya dengan menggunakan model arbitrase on-line sehingga pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan dimana saja dia berada.
B. Perumusan Masalahan
Masih sangat sedikit penelitian di Indonesia yang membahas aspek arbitrase online secara komprehensif. Salah satu peneliti yang memulainya Paustinus Siburian yang memberikan gambaran proses beracara secara online dalam forum arbitrase.
Penelitian ini mencoba menguraikan lebih jauh mengenai apakah model arbitrase on-line di akui keabsahannya menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan mempunyai kekuatan secara yuridis seperti arbitrase konvensional
C. KAJIAN PUSTAKA
1. Internet dan e-commerce
Internet merupakan penggabungan computer dengan teknologi telekomunikasi yang membentuk sekelompok jaringan computer yang saling terhubung (interconnect). Jaringan ini melakukan komunikasi satu sama lain dengan suatu teknologi komunikasi berupa kelompok protocol yang disebut TCP/IP (Tranfer Control Protokol/Internet Protokol). Protocol merupakan sekumpulan aturan dan spesifikasi mengenai suatu cara berkomunikasi. TCP berfungsi membagi data-data digital menjadi paket-paket kecil (datagram) yang akan ditransmisikan dari suatu jaringan ke jaringan lain yang dikehendaki. Dalam setiap paket ditandai nomor urut dan alamat si penerima. Selain itu TCP akan menyertakan informasi untuk mengontrol jika terjadi kesalahan. IP kemudian akan membawa paket-paket tersebut dan memeriksanya jika terdapat kesalahan. Selanjutnya TCP akan mendekonstruksi pesan asli berdasarkan nomor urutnya. Disini fungsi TCP mengatur paket-paket data dan memastikan kebenarannya sedang IP yang membawa paket-paket tersebut.
Ada beberapa metode berkomunikasi untuk melakukan kontrak dengan memanfaatkan sistem internet, antara lain :
1. Komunikasi satu orang dengan satu orang lain misalnya email
2. Komunikasi satu orang dengan banyak penerima pesan, misalnya listserv;
3. pengiriman data pesan seperti penggunaan USENET newsgroups;
4. Komunikasi real time seperti Internet Relay chat, teleconference;
5. Pencarian informasi melalui remote (seperti Ftp, gopher, dan World Wide Web)[1]
2. Konsep kontrak
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris yang berarti perjanjian atau persetujuan. Namun dalam istilah hukum lebih dikenal dengan istilah perikatan. Untuk lebih jelas pengertian istilah-istilah tersebut, maka akan dikutip beberapa pendapat para sarjana sebagai berikut :
Pengertian perikatan menurut Pitlo yang dikutip oleh setiawan[2] :
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Hal yang diperjanjikan dalam sebuah perjanjian yang dilakukan oleh para pihak dinamakan prestasi, yang dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau, tidak berbuat sesuatu.
2.1. Syarat Sahnya perjanjian
Sebuah perjanjian atau kontrak dinyatakan sah telah terjadi jika memenuhi syarat subyektif dan obyektif yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2)cakap untuk melakukan perikatan; 3)mengenai suatu hal tertentu;4) suatu sebab yang halal
Untuk mengetahui kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi sehingga saat itu pula kontrak dianggap telah mulai berlaku, ada beberapa teori yang dapat digunakan sebagai alat bantu, yaitu[3] :
1. Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance)
Menurut teori ini, pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.
2. Teori Pengiriman (verzendings theorie)
Menurut teori pengiriman ini, suatu kata sepakat terbentuk pada sat dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu kontrak, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim telah kehilangan kekuasaan atas surat yang di kirimnya itu. Keberatan atas teori ini bahwa kontrak tersebut sudah lahir dan mengikat orang yang menawarkan pada saat orang yang memberikan penawaran belum tahu hal itu. Dalam e-commerce surat tersebut dapat berupa e-mail ataupun penekanan tombol sepakat (agree) yang disediakan dalam kontrak standar tersebut.
3. Alat Bukti Dalam Hukum pembuktian
Menurut pasal 164 HIR dan 1866 BW terdapat lima macam alat bukti yang digunakan dalam pembuktian di persidangan, yaitu : 1)Bukti tulisan; 2) Bukti dengan saksi; 3) persangkaan-persangkaan; 4) pengakuan; 4) Sumpah. Alat bukti tertulis yang terdapat dalam pasal 1866 KUHPerdata maupun 164 HIR merupakan hal terpenting dalam pembuktian. Dalam hukum bukti tertulis biasanya disamakan dengan surat, dan berdasarkan kekuatan pembuktiannya terbagi menjadi tiga, yaitu ;1).surat biasa; 2)akta otentik; 3) akta dibawah tangan
Pengakuan alat bukti yang digunakan dalam pembuktian penyelesaian sengketa arbitrase online, khususnya yang berhubungan dengan alat surat, dalam hukum positif di Indonesia akan menentukan kekuatan yuridis dari putusan arbitrase online tersebut.
4. Arbitrase Online
Penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi sangat disukai karena putusannya berupa win-win solution ataupun sebuah putusan yang pelaksanaannya diterima dengan sukarela oleh para pihak dan dalam pemeriksaan prosesnya membuat “kesepakatan-kesepakatan” yang dapat diterima oleh para pihak.
Penyelesaian sengketa dalam sistem e-commerce yang mengutamakan efesiensi, efektifitas dan biaya murah hanya dapat diselesaikan dalam alternatif penyelesaian sengketa yang yang mempunyai kesamaan sistem, yaitu arbitrase online. Di banyak negara maju arbitrase online sudah lama dikenal dan sudah terbiasa menyelesaikan sengketa. Lembaga yang menawarkan ADR online antara lain e-Resolutions.com,Online Mediators, Virtual Magistrate, American Arbitration association dan sebagainya.
Banyak konsep mengenai pengertian arbitrase yang diberikan oleh para ahli hukum. Tinneke louise tuegeh Longdong memberikan konsep arbitrase sebagai berikut :
“Arbitrase ialah suatu cara penyelesaian sengketa dengan suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dan tetap berdasarkan hukum atau dengan persetujuan para pihak berdasarkan keadilan dan kepatutan”
Sedangkan Undang-undang No.30 tahun 1999 memberikan pengertian tentang arbitrase dalam pasal 1 butir 1, yaitu :
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umumyang didasarkan perjanjian arbitrase yang di buat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”
Pengertian arbitarse on-line sendiri cara penyelesaian sengketa secara arbitrase dengan menggunakan alat elektronik/digital dalam penyelenggaraannya.
Prosedur penyelenggaraan arbitrase online adalah sebagai berikut[4]. :
1. Peraturan yang diperlukan mengenai permohonan untuk berarbitrase dan pelaksanaannya (hal ini meliputi peraturan yang diterapkan oleh badan arbitrase mengenai informasi yang disediakan oleh salah satu fihak menyangkut adanya sengketa, pada sengketa konsumen hal ini berarti penyediaan formulir complain secara online, dan pada sengketa B2b tersedianya formulir online berisi permintaan untuk melakukan arbitrase termasuk peraturan penyediaan perjanjian arbitrase);
2. Menyediakan cara memilih arbitrator, menerima tempat kedudukan atau menolaknya;
3. menyediakan tata cara berarbitrase seperti penyediaan peraturan prosedural seperti tata cara mengajukan perkara secara online, menyampaikan tanggapan, mengajukan bukti-bukti, argumentasi dan kemungkinan-kemungkinan adanya penundaan;
4. Penyediaan tata cara penggunaan pesan-pesan secara elektronik, seperti penyelenggaraan prosedur yang hanya menggunakan dokumen elektronik, penggunaan video conferencing dan audio conferencing termasuk dalam hal ini adalah penyediaan alat-alat bukti berupa keterangan saksi dan saksi ahli;
5. Penyediaan pemmbuatan putusan secara online dan persyaratan yang diperlukan agar suatu putusan dapat diterima dan dijalankan;
6. penyediaan prosedur yang mungkin untuk mengadakan perlawanan atau banding terhadap putusan;
7. Penyediaan sarana untuk penyimpanan data terutama dalam perlawanan menyangkut dari salah satu pihak untuk melakukan perlawanan karena adanya dugaan bahwa hak-hak dari salah satu pihak telah dilanggar;
8. Penyediaan prosedur yang memungkinkan proses berjalan secara rahasia dengan menyediakan teknologi enkripsi dan tanda tangan elektronik
D. Pembahasan
A. Perjanjian Arbitrase Online
1. Keabsahan Perjanjian Arbitrase Online
Perjanjian arbitrase yang dilakukan oleh para pihak merupakan perjanjian yang bersifat asesor. Sifat asesor ini disebabkan perjanjian arbitrase atau disebut klausula arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok, keberadaan klausula arbitrase ini hanya sebagai tambahan kepada perjanjian pokok dan tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Sehingga batal atau cacatnya perjanjian arbitrase tidak berakibat batalnya perjanjian pokok. Sebaliknya batalnya perjanjian pokok langsung mengakibatkan gugur dan tidak berfungsinya perjanjian arbitrase.
Dalam hal ini perjanjian arbitrase hanya berfokus pada penyelesaian perselisihan yang terkait dengan pelaksanaan dan pemenuhan perjanjian pokok, tetapi bukan pada masalah pelaksanaan perjanjian. Dengan kata lain perjanjian arbitrase baru berfungsi bila terdapat perselisihan mengenai perjanjian pokok diantara para pihak tersebut.
Model arbitrase online merupakan pengembangan dari bentuk arbitrase konvensional yang bertujuan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak yang telah melakukan suatu perjanjian dalam ruang lingkup hukum perdata. Penyebutan model disini dalam pengertian sebagai suatu lensa pandang terhadap masalah dan suatu kerangka berpikir kearah pemecahan masalah, model mempertajam apa yang ingin diketahui oleh ilmuwan menjadi sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin dikaji menurut akal sehat. Model arbitrase online dalam prosesnya pelaksanaannya menggunakan media yang secara keseluruhan berupa informasi elektronik yang paperless/scriptless transaction bahkan para pihak yang terlibat dalam kontrak online ini dapat saja tidak pernah bertatap muka.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar yang membedakan antara perjanjian konvensional termasuk didalamnya klausula arbitrase dengan perjanjian online pada dasarnya hanya pada penekanan physical form (bentuk konkrit dan nyata) pada perjanjian konvensional dan pada perjanjian online penawaran dan penerimaan dilakukan dalam bentuk elektronik atau digital, disamping itu sifat perjanjian online secara umum non face, yakni tidak membutuhkan physical presence (kehadiran secara fisik) dan paperless, misal melalui web site, penawaran melalu mailing list dan newsgroup. Dalam arbitrase online, pendaftaran perkara, pemilihan arbiter, pembuatan putusan, penyerahan dokumen, pemusyawarahan arbitrator, pembuatan putusan, serta pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara online.[5]
Sebuah perjanjian arbitrase dinyatakan sah telah terjadi jika memenuhi syarat subyektif dan obyektif yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :
1. Syarat Kesepakatan kehendak
Semua perjanjian arbitrase lahir karena adanya sebuah perjanjian, oleh sebab itu keabsahan dan mengikatnya perjanjian arbitrase harus terdapat kata sepakat (toestemming) dari para pihak secara sukarela. Kata sepakat ini biasanya berupa agreement ataupun consent.
Untuk menentukan terjadinya kesepakatan dalam perjanjian online maka penulis menganggap teori penawaran dan penerimaan sebagai teori yang bisa di jadikan pedoman untuk menentukan saat terjadinya kesepakatan kehendak. Dengan teori ini berarti ada sebuah komunikasi yang terjalin antara para pihak dalam sebuah perjanjian. Untuk model arbitrase online, beberapa badan yang menyelenggarakan arbitrase online menyediakan page-page web untuk prosedur pendaftaran dan menyediakan forum untuk saling berkomunikasi. Forum untuk berkomunikasi antara lain dengan chatting room dan buletin board yang berbasis real time audio streaming.
Hal ini sesuai dengan pendapat J. Satrio bahwa untuk mencapai kesepakatan maka ada pernyataan dari pihak yang menawarkan (offerete) atau penawaran (aanbod) dan ada pihak yang menerima tawaran tersebut yang dinamakan akseptan. Dengan demikian kesepakatan suatu kehendak terhadap suatu kontrak di mulai dari adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penerimaan terhadap penawaran (acceptance) dari pihak lainnya. Disini berarti ada sebuah komunikasi yang mempertemukan kesepakatan yang melahirkan suatu perjanjian.
2. Syarat kecakapan berbuat dari para pihak
Pada suatu transaksi ataupun kontrak secara online yang tidak mungkin ada sebuah pertemuan langsung antara penjual dan pembeli, maka untuk mengetahui apakah si pembeli cakap untuk mengadakan suatu perjanjian atau tidak, kita bisa menggunakan sebuah fiksi hukum yaitu untuk melakukan pembayaran dengan transaksi online maka dibutuhkan kartu kredit ataupun e-cash atas namanya sendiri, yang berarti ketika membuat kartu kredit tersebut harus melalui prosedur pembuatan kartu termasuk kartu tanda pengenal dan batas usia diperbolehkan membuat kartu kredit. Jadi kita bisa melakukan konfirmasi kartu kredit kepada pihak bank untuk mengetahui cakap tidaknya seseorang dalam hukum. Hal ini juga dapat digunakan dalam perselisihan yang menggunakan arbitrase online untuk penyelesaiannya, yaitu dengan meminta konfirmasi pada pihak bank tentang identitas para pihak yang dibebani biaya administrasi perkara.
3. Syarat Perihal Tertentu
Pada dasarnya yang dimaksudkan dengan perihal tertentu tidak lain merupakan objek atau barang-barang dalam suatu kontrak. Jadi suatu kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Dalam perjanjian arbitrase yang menjadi objek adalah perjanjian pokok itu sendiri. Sehingga sasaran utama dalam perjanjian arbitrase adalah perselisihan yang terjadi dalam perjanjian pokok yang kemudian diselesaikan dalam forum arbitrase.
Untuk keabsahan dari forum arbitrase maka objek yang terdapat dalam perjanjian pokok harus objek yang diperbolehkan oleh Undang-undang, yaitu : 1).Barang yang merupakan objek kontrak tersebut haruslah barang yang dapat di perdagangkan (vide pasal 1332 KUH Perdata). Berkaitan dengan barang yang dapat diperdagangkan maka consumer dalam transaksi e-commerce harus lebih jeli melihat barang yang ditawarkan melalui webstore. Hal berkaitan dengan jaringan internet yang terbuka sehingga tidak menutup kemungkinan barang/sesuatu yang menurut hukum tidak patut dijual, malah diperdagangkan secara bebas. Misal kasus penawaran untuk menjual anak ataupun organ tubuh. 2).Pada saat kontrak di buat minimal barang tersebut sudah di tentukan jenisnya (vide pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata). 3). Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat di tentukan atau di hitung (vide pasal 1334 ayat 2 KUH Perdata).4).Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari (vide pasal 1334 ayat 1 KUH Perdata). 5). Syarat Kausa yang Halal,harus mengacu pada pasal 1335 dan 1337, yaitu :1).Sebab yang tidak terlarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang, misal sengketa tentang perdagangan anak atau wanita;2).Sebab sesuai dengan kesusilaan, misal sengketa dagang yang bertentangan dengan kesusilaan misalnya mengenai pornografi;3).Sebab yang sesuai dengan ketertiban umum,misalnya perdagangan gelap senjata ataupun mengenai terorisme.
Model Arbitrase Online Dalam Konstruksi UU No 30/1999
Disamping keabsahan suatu perjanjian seperti yang digariskan dalam pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian arbitrase mempunyai konstruksi khusus sebagai suatu bentuk perjanjian yang dibentuk secara khusus. Konstruksi keabsahan ini diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan Penyelesaian sengketa, yaitu :
a. perjanjian arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar Pengadilan
Hal ini diatur dalam UU No. 30 tahun 1999 pasal 1 angka 1 yang berbunyi :
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari uraian pasal diatas dapat diketahui bahwa kewenangan perjanjian arbitrase hanya sebatas pada sengketa perdata. Sedangkan untuk permasalahan dalam bidang hukum lain, misalnya pidana maka model penyelesaian sengketa dengan arbitrase tidak dapat digunakan.
b. perjanjian arbitrase dilakukan tertulis
Klausula tertulisnya perjanjian arbitrase terdapat dalam pasal 1 angka 3 yang menyatakan :
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Dari pengertian yang diberikan dalam UU No 30 tahun 1999 diatas undang-undang tidak memberikan batasan tentang bentuk apa yang harus digunakan yaitu harus tercetak atau tidak, hanya memberi batasan bahwa perjanjian tersebut secara tertulis ataupun perjanjian tertulis (pasal 1 angka 3 UU No 30/1999). Undang-undang diatas tidak mengatur bahan atau media apa yang digunakan untuk menulis, sehingga dalam pandangan penulis selain bentuk konkrit (phisikal form) seperti dalam perjanjian/kontrak konvensional juga mencakup proses ajudikasi berupa arbitarse online (cyber arbitration) yang mempunyai ciri-ciri umum non face, yakni tidak membutuhkan physical presence (kehadiran secara fisik) dan paperless. Jadi jika dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase konvensional mendasarkan kegiatannya pada pertukaran dan pemeriksaan dokumen bermedia kertas (paperbase). Sedangkan, dalam arbitrase online, media kertas telah digantikan oleh data digital sehingga tidak lagi diperlukan adanya dokumen berbentuk kertas (paperless).
c. Perjanjian Arbitrase harus ditanda tangani
Istilah tanda tangan dalam perjanjian arbitrase terdapat dalam pasal 4 angka 2 Undang-undang N0 30 tahun 1999, yang memuat ketentuan :
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh para pihak.
Konsep mengenai tanda-tangan mengalami penafsiran yang berkembang dengan pesat, hal ini seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi yang menyertainya, baik dalam hal medianya maupun alat yang digunakan. Yang tidak berubah dari tanda tangan adalah fungsinya yaitu untuk membedakan akta tersebut dengan akta-akta lainnya dengan cara mengindividualisir dan memberi ciri penjelas.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 4 angka 2 diatas tentang adanya dokumen dan tanda tangan dari para pihak. Dokumen disini tidak diberi penjelasan apakah harus berupa berkas-berkas yang terbuat dari kertas atau pun meliputi dokumen dalam media yang lain, sehingga penulis berpendapat dokumen disini dapat berupa file-file informasi elektronik. Selain hal tersebut istilah dokumen yang ditanda tangani pada pasal 4 (2) tersebut tidak mensyaratkan keharusan bahwa perjanjian tertulis tersebut dibuat diatas kertas dan tanda tangan dengan tinta di atas kertas. Hal ini berarti untuk perjanjian tertulis dalam arbitrase nasional dapat berupa informasi elektronik.
Penulis berpendapat demikian melihat perkembangan definisi dari tanda tangan seperti yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu :
1. Dipersamakan dengan tanda tangan yaitu cap ibu jari (cap jempol) yang yang dikuatkan oleh seorang notaris atau pejabat lain yang berwenang yang menyatakan ia mengenal orang yang membubuhkan cap jempol dan isi akta tersebut telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya (waarmerking : S. 1867 no 29 ps 1, 286 Rbg, 1874 BW).
2. Dipersamakan juga faksimil dari tanda tangan apabila dibubuhkan oleh yang berwenang (HR. 2 Februari 1920, 10535).
Hal ini sejalan dengan RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menganggap sah tanda tangan elektronik yang berupa informasi elektronik dalam sebuah transaksi elektronik. Dalam RUU ini Tanda tangan elektronik didefinisikan sebagai informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang dibuat oleh penandatanganan untuk menunjukkan identitas dan statusnya sebagai subyek hukum, termasuk tidak terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci publik (tanda tangan digital), biometrik, kriptografi simetrik.
Dalam hal ini dapat ditafsirkan bahwa fungsi tanda tangan untuk mengotentifikasikan penandatangan dengan dokumen yang ditandatanganinya. Jadi pada saat penandatangan membubuhkan tanda tangan dalam suatu bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan (attribute) dengan penandatangan
Melihat hubungan antara fungsi tanda tangan “tradisional” dan tanda tangan digital untuk menilai sebuah keabsahan maka kalau kita menilainya secara substansialis, yang lebih menekankan kepada fungsi, manfaat dan dimensi filosofis, dapat terlihat bahwa tanda tangan tradisional sudah terwakilkan dalam figur tanda tangan digital. Dengan kata lain dalam transaksi online keabsahan tanda tangan digital harus diterima keabsahannya sebagai sebuah tanda tangan. Alasan yang dapat menguatkan sebagai berikut[6] :
1. tanda tangan elektronik merupakan tanda-tanda yang bisa dibubuhkan oleh seseorang atau beberapa orang yang diberi kuasa oleh yang berkenhak untuk diikat secara hukum
2. sebuah tanda tangan digital dapat dimasukkan dengan menggunakan peralatan mekanik, sebagimana tanda tangan tradisional;
3. Keamanan tanda tangan digital sama dengan keamanan tanda tangan tradisional;
4. Niat pada saat pembuatan tanda tangan juga terpenuhi/ sama;
5. sebagaimana tanda tangan biasa, tanda tangan elektronikpun dapat diletakkan di bagian mana saja pada sebuah dokumen dan tidak harus berada di bagian bawah dokumen kecuali hal tersebut disyaratkan dalam mekanisme legislasi.
Penulis pun sependapat dengan M. Arsyad sanusi bahwa dalam memandang keabsahan dari tanda tangan digital sebagai sebuah tanda tangan dalam sebuah kontrak online dengan menilai fungsi dan hakekat tanda tangan digital tersebut. Hal ini berkaitan dengan transaksi online yang paperless dan tidak mempertemukan para pihak secara langsung. Sehingga untuk memahaminya pun tidak tekstual, melainkan kontekstual sesuai dengan perkembangan dunia teknologi dalam menunjang kebutuhan manusia akan sebuah transaksi dagang.
3. Model Arbitrase Online Dalam Konstruksi Hukum Internasional
Dalam Hukum internasional konstruksi keabsahan dan prosedur dari sebuah perjanjian arbitrase diatur oleh beberapa aturan hukum. Diantara aturan tersebut yang paling berpengaruh dan banyak diikuti dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase adalah :
a. Perjanjian Arbitrase On line menurut Konvensi New York
Menurut konvensi New York ada tiga hal yang menjadi persyaratan keabsahan sebuah perjanjian arbitrase seperti diatur dalam article II (2) yaitu : tertulis, di tanda tangani dan asli.
Secara lengkap bunyi article II (2) adalah :
The term “agreement in writing” shall include an arbitral clause in a contract or arbitration agreement, signed by the parties or contained in an exchange of letter or telegrams”.
Dengan interpretasi ektensif mengenai istilah tertulis yang diartikan dapat dibaca dan dimengerti maksud dari tulisan tersebut oleh para pihak serta dibuat dalam media tertentu. Maka sinyal-sinyal elektronik yang membentuk suatu huruf, angka yang mempunyai arti dan maksud tertentu yang dapat dipahami oleh para pihak dapat dikatakan sebagai bentuk tertulis.
b. Perjanjian Arbitrase On line Menurut UNCITRAL Model Law
Pendekatan yang diambil dalam model law ini adalah bahwa suatu informasi tidak dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, hanya karena informasi itu berbentuk data message. Pendekatan ini menganut pemikiran sosiologis jurisprudence yang menggunakan pendekatan pada kebutuhan dan realita praktek hukum yang terjadi dalam masyarakat tentang interpretasi “tertulis” dari aturan teks perundang-undangan yang disamakan dengan data message dalam internet. Interpretasi ini akan menimbulkan suatu kepastian dikemudian hari apabila terdapat suatu bentuk/format data messages dalam bentuk yang baru. Pendekatan ini juga akan menyebabkan suatu kontrak/perjanjian yang dibuat dengan digital signature mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan apabila dalam suatu perundang-undangan terdapat persyaratan bahwa harus dalam bentuk tertulis, maka persyaratan ini dapat dicapai, selama informasi/data tersebut dapat dilihat/diakses.
Suatu data messages dapat ditandatangani secara elektronis. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL model law on E-Commerce adalah sebagai berikut :
1. Segala informasi elektronik dalam bentuk data elektronik dapat dikatakan untuk memiliki akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan hukum. (Information shall not be denied legal effect,validity or enforce ability solely on the grounds that it is in the form of a data message).
2. Dalam hal hukum mengharuskan adanya suatu informasi harus dalam bentuk tertulis dikatakan di dalam article 6 UNCITRAL Model Law. “Where the law requires information to be in writing, the requirement is met by a data message if the information contained therein is accessible so as to be useable for subsequent reference.
3. dalam hal tanda tangan, maka suatu tanda tangan elektronik merupakan tanda tangan yang sah.
4. Dalam hal kekuatan pembuktian dari data yang bersangkutan, maka data message memiliki kekuatan pembuktian.
5. Suatu penawaran dan penerimaan tawaran tersebut (offer and acceptance) dapat dinyatakan dalam bentuk data message, dan jika data tersebut digunakan sebagai format dari kontrak, maka kontrak tersebut tidak dapat ditolak keabsahan dan kekuatan hukumnya dalam mana data tersebut digunakan, dan dalam hal pihak-pihak yang melakukan offer and acceptance dikatakan sebagai originator, yaitu sebagai pihak yang melakukan suatu pengiriman data dan pihak yang menerima data dikatakan sebagai addressee.
B. Kekuatan mengikat Model Arbitrase Online dalam Konstruksi Hukum nasional
Kekuatan hukum dari kontrak online dalam hukum positif di Indonesia tergantung dari pembuktian dalam proses pemeriksaan di persidangan, yaitu apakah hal-hal yang terdapat dalam perjanjian arbitrase online dapat di persamakan dan diakui sebagai alat bukti sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-Undang. Dari rumusan perundang-undangan mengenai perjanjian dapat ditentukan 2 (dua) alat bukti yang sah, yaitu ;
1. Alat bukti yang sah Sesuai dengan Perundang-undangan tertentu
2. Alat bukti yang sah Didasarkan Atas kesepakatan
Ad. 1. Alat bukti yang sah sesuai dengan perundang-undangan tertentu
Untuk menentukan alat bukti yang sah dalam pemeriksaan forum arbitrase mengacu pada klausula arbitrase yang disepakati. Sebagai contoh jika dalam kesepakatan arbitrase mengacu pada UNCITRAL tetapi dalam proses pembuktian mengacu pada hukum yang berlaku di Indonesia, maka sepanjang pemeriksaan mengacu pada aturan UNCITRAL tetapi pada saat pemeriksaan dan penilaian kekuatan alat bukti mengacu pada pasal 164 HIR, yaitu :1).Alat bukti Surat; 2).Alat bukti saksi; 3).Alat bukti persangkaan;4).Alat bukti pengakuan; 5).Alat bukti sumpah
Sedangkan aturan yang terdapat dalam Peraturan prosedur BANI, Buku III Rv, ICSID, UNCITRAL arbitration rules memberikan porsi lebih besar pada dokumen atau alat bukti tertulis.
a. Pembuktian dalam bentuk Tulisan
Untuk dapat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka sebuah klausula perjanjian arbitrase online selayaknya mengajukan suatu alat bukti yang setara/sama dengan Akta Otentik. Suatu Digital Signature dan data elektronik sudah seharusnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama sebagaimana Surat Akta Otentik. Minimal digital signature dan data-data elektronik tersebut dapat digunakan dalam proses pembuktian sehingga setara dengan akta bawah tangan.
Dalam perjanjian online termasuk arbitrase online alat bukti tertulis didapat dari data elektronik/digital yang ditransmisikan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Untuk mendapatkan kesempurnaan dalam pembuktian maka data elektronik yang ditransmisikan oleh kedua belah pihak dengan suatu analogi harus dipersamakan dengan kekuatan otentik.
Dari uraian mengenai akta otentik maka dalam perjanjian arbitrase online terdapat dua permasalahan. Pertama, aspek tertulis. Kedua, dibuat oleh atau di hadapan pejabat negara yang berwenang/pegawai umum.
Untuk dapat di kategorikan dalam bentuk tertulis sesuai tuntutan pasal 1867 maka dapat dilakukan :
a. Hakim ataupun arbiter dan ahli hukum dapat melakukan analogi terhadap istilah tulisan, yaitu dengan menyamakan informasi elektronik yang berupa data-data elektronik yang mengkomunikasikan pesan dan maksud dari para pihak untuk membuat suatu perjanjian dengan istilah tulisan. Analogi terhadap hal ini sudah mulai dianut oleh para ahli hukum Indonesia dalam membuat rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan transaksi Elektronik, yaitu pasal 1 ayat 3 :“Informasi adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti”.
b. Membuat suatu printout copy dari pesan yang masih berbentuk elektronik tersebut. Dalam transaksi konvensional print out copy yang berupa teks atau gambar digunakan dalam setiap transaksi dan dipersamakan dengan tulisan tangan.
c. Yang menjadi permasalahan adalah digital signature atau tanda tangan elektronik dalam bentuk print out copy karena dalam bentuk bahasa program komputer yang hanya dapat dipahami atau dimengerti oleh programer komputer belum ada aturannya. Aturan yang ada justru kebalikannya yaitu dari bentuk nyata tertulis ke bentuk data elektronis, diatur dalam UU Dokumentasi Perusahaan pada Bab III Pengalihan bentuk Dokumen Perusahaan dan Legalisasi dari Pasal 12 sampai dengan Pasal 15. Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1987 berbunyi :
(1) Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya.

Sedangkan pengaturan legalisasi terdapat pada pasal 13 dan pasal UU No. 8 tahun 1987 yang berbunyi :
“Setiap pengalihan dokumen perusahaan sebagimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) wajib dilegalisasi”.

Pasal 14 UU No. 8 Tahun 1987 berbunyi :
Legalisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan yang bersangkutan, dengan dibuat berita acara.

Setelah proses pengalihan dan legalisasi, maka dokumen tersebut dinyatakan sebagai alat bukti yang sah. Hal ini bisa dilihat pada pasal 15 UU No. 8 Tahun 1987 yang berbunyi :
Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah.

Esensi yang terdapat dalam UU No 8 tahun 1987 dalam proses pengalihan dokumen ke bentuk mikrofilm adalah pada informasi yang terdapat dalam dokumen tersebut yang tidak boleh berubah. Dalam Pandangan penulis Undang-Undang No 8 tahun 1987 tersebut tidak mempermasalahkan perubahan media dari konvensional ke media elektronik atau sebaliknya melainkan pada keaslian pesan yang terkandung dalam dokumen yang akan dialihkan ke dalam mikro film atau media lainnya.
Selain itu dapat digunakan interpretasi ekstensif untuk menafsirkan bahwa pengalihan tersebut bukan hanya pengalihan dari bentuk konvensional tertulis kedalam media elektronik melainkan juga meliputi proses berubahnya media yang digunakan dalam sebuah perjanjian seiring dengan perkembangan teknologi. Dengan catatan bahwa bila terjadi suatu perubahan bentuk dari suatu dokumen/pesan, maka harus dapat dibuktikan bahwa perubahan bentuk tersebut tidak merubah isi dari dokumen/pesan yang diubah bentuknya itu. Konsekuensi hukumnya, kekuatan pembuktian dari bentuk ubahan tersebut harus sama sesuai kekuatan pembuktian dari bentuk asalnya.
Berkaitan dengan digital signature sebagai alat bukti maka dalam pandangan penulis hal tersebut merupakan sebuah keharusan, sama halnya dengan yang ditetapkan dalam UU No. 8 tahun 1997 dimana dokumen perusahaan harus dilegalisasi oleh pimpinan perusahaan untuk memperoleh keabsahannya. Digital Signature pada arbitrase online pun menggunakan pihak ketiga (otoritas sertifikasi) untuk memperoleh keabsahan perjanjiannya.

E. PENUTUP
Berdasarkan dari apa yang telah dikemukakan, dapat kita simpulkan dan usulkan hal-hal sebagai berikut terutama dari bidang hukum dan regulasi
1. Kesimpulan
1. Perjanjian arbitrase online yang dalam proses perjanjiannya paperless dengan menggunakan media alat elektronik sah secara hukum karena telah memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang disebutkan secara limitatif dalam pasal 1320 KUHPerdata dan memenuhi ketentuan dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 yaitu a). Informasi elektronik dalam bentuk data-data elektronik yang dapat berupa teks, gambar, suara dengan penafsiran ekstensif dapat ditafsirkan sebagai bentuk tertulis dari sebuah perjanjian arbitrase, sehingga dapat memenuhi persyaratan keabsahan perjanjian arbitrase dalam bentuk tertulis. b). Keabsahan tanda tangan digital dalam kontrak pun tidak dapat disangkal atau dibatalkan karena aspek-aspek dalam hukum perdata telah terpenuhi.
2. Kekuatan hukum arbitrase online mengikat secara hukum dengan menafsirkan secara ektensif bahwa data elektronik dan tanda tangan elektronik merupakan sebuah alat bukti tertulis seperti yang disyaratkan oleh aturan perundang-undangan. Hal ini didukung aturan Internasional seperti UNCITRAL dan UNCISG bahwa suatu informasi tidak dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, hanya karena informasi itu berbentuk data message
2 Saran-saran
1. menghadapi kekosongan hukum di Indonesia, arbiter dituntut untuk melakukan rechtvinding (penemuan hukum).
2. Perlu segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk memberi kepastian hukum, serta segera disusun Undang-Undang tentang arbitrase online.
[1] Paustinus Siburian, Arbitrase online APS perdagangan secara elektronik, Djambatan, Jakarta,2004
[2] R. Setiawan, Pokok-pokok hukum Perikatan, Bina cipta, Bandung,1979 hlm 2
[3] Fuady, M. Hukum Kontrak dari sudut pandang hukum bisnis,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. h.316
[4] Paustinus, Op.cit, 2004,hlm 79.

[5] Paustinus Siburian, op. cit., hal. 56-57.

[6] Arsyad Sanusi, E-Commerce den Permasalahan Hukum Yang mengikutinya, Yogyakarta, 2001

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PENTINGNYA OPTIK SOSIAL DALAM KAJIAN HUKUM PIDANA

Oleh : Faizin Sulistio[1]

Tulisan sederhana ini mencoba menggambarkan relevansi dan urgen-nya penggunaan optik sosial dalam membedah keilmuan hukum khususnya dalam aspek hukum pidana. Aspek ini saya coba ambil mengingat pada saat ini sedang menekuni hukum pidana.

Bagi sebagian orang hukum, hukum pidana mungkin yang paling kaku dalam pengkajian hukum. Hal ini merupakan pengaruh kuat dari asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana khususnya pasal 1 ayat 1 yang berbunyi :

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan “

Asas ini membawa sebuah konsekuaensi dalam melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan, yaitu harus bertumpu pada :

(1) Suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.

Pandangan ini mempunyai dua makna, yaitu pertama, hukum hanya yang tertulis dalam undang-undang. Aturan hidup atau norma yang tidak tertulis bukan merupakan hukum. Kedua, larangan adanya analogi dalam hukum pidana.

(2) Peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Hal ini membawa konsekuensi adanya larangan retroaktiv (Sudarto, 1990: 22-23).

Dalam perkembangan asas legalitas sebenarnya sebenarnya mulai melunak dengan memberi ruang bahwa hukum bukan hanya yang tertulis, seperti yang tercermin dalam :

a. UU No. 1 Drt. 1951 Pasal 5 (3) sub b

o bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum;

o bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hu-kuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

b. UU Kekuasaan Kehakiman No. 4/2004 :

o Pasal 25 (1) : Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

o Pasal 28 (1) : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

c. Pasal 18B (2) UUD’45 (amandemen ke-2) :

Negara mengakui dan meng-hormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Akan tetapi, adanya jaminan undang-undang tentang pengakuan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat ternyata tidak serta merta membuat akademisi dan praktisi hukum mencoba mengurai hukum dalam perspektif yang lebih luas diluar hukum (sosiologis, Antropologis dsb). Istilah Satjipto Rahardjo masih terbelenggu pikiran normative-Positivis, yaitu pemikiran yang mengesampingkan hukum sebagai fenomena yang lebih besar, melampaui batas-batas positivis.

Belenggu pemikiran normative positivis ternyata menyebabkan keterpurukan dalam hukum, sehingga untuk keluar dari keterpurukan hukum maka harus membebaskan diri dari belenggu positivis. Hal ini karena pemikiran positivis-legalistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) tidak akan pernah mampu dan dapat menangkap hakikat kebenaran (Ahmad Ali, 2002 :48). Sehingga perlu ada pemikiran yang responsive terhadap rasa keadilan dalam masyarakat untuk mencari dan mengurai benang keadilan dan kebenaran. Pemikiran ini dilandasi bahwa bangunan hukum dibangun oleh hubungan antar manusia sebagai hubungan sosial antar individu dengan keseluruhan variasi dan kompleksitasnya yang cenderung sifatnya asimetris. Dalam artian hukum tunduk pada kekuatan sentripetal yang menciptakan keteraturan,sekaligus tunduk pada kekuatan sentrifugal yang menciptakan ketidakteraturan (disorder), chaos maupun konflik. Sehingga hukum tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang kaku (formal-legalistik-positivis) tetapi harus lentur memperhatikan fakta dan realitas sosial ( Charles Stamford, 1989 :223).

Hal inilah yang sebenarnya ingin dicapai oleh penganut pemikiran yang melintasi batas positivis antara lain socio legal studies yang berprinsip bahwa hukum bukan berada dalam ruang kosong dan hampa yang steril dari aspek atau sistem yang lain. Hal ini berangkat dari pemikiran berikut :

1. Hukum (tertulis) merupakan produk politik, karena merupakan produk politik maka bisa jadi terdapat agenda politik didalamnya. Dalam teori hukum hal ini sejalan dengan pemikiran fungsi hukum : Law as a tool of social control dan Law as a tool of social engineering yaitu sebagai alat untuk mengontrol dan menghegemoni rakyat sesuai dengan selera penguasa.

2. Sebagai produk politik bisa jadi hukum kurang mendapat legitimasi secara sosiologis dari masyarakat, sebagai contoh : RUU Pornografi dan Pornoaksi yang banyak melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan.

3. Pengaruh negara asing dengan hukum liberal yang kurang sesuai dengan budaya masyarakat sangat terasa dalam proses pembuatan perundang-undangan maupun dalam proses penegakan hukum. Sebagai contoh: RUU tentang PMA, contoh lain akhir-akhir ini polisi gencar melakukan razia terhadap warnet-warnet dan conter HP yang diduga memakai sofware bajakan sekaligus menangkap pengelolanya dengan tuduhan pelanggaran terhadap UU Merek.

4. Penegak Hukum mempunyai ekspektasi dan Orientasi yang dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial-politik dan lingkungannya. Proses penegakan hukum akhirnya hanya tebang pilih selaras dengan agenda politik.

5. Secara Khusus dalam hukum pidana (KUHP) merupakan warisan kolonial yang sudah saatnya secara substansi disesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia.

Untuk itu, khususnya dalam penegakan hukum pidana tidak hanya sekedar memenuhi kehendak undang-undang atau aturan tertulis., melainkan harus melihat nilai sosiologis-rasional yang menghendaki hukum mempunyai utility dan equity.

Hal inilah yang saya kira perlu dan penting disampaikan dalam proses pembelajaran mahasiswa hukum, sehingga ketika menjadi praktisi hukum tidak menggunakan kaca mata kuda dalam menerapkan bunyi text undang-undang.

DAFTAR RUJUKAN :

Ahmad Ali, 2002 . Keterpurukan Hukum di Indonesia penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta

Charles Stamford, 1989. The Disorder of law : A Critique of legal theory, basil Blackwell, New York, USA.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana I, yayasan Sudarto, FH Undip, Semarang

Satjipto Raharjo,2000. Teaching Order Finding Disorder, Universitas Diponegoro, Semarang.



[1] Penulis merupakan anggota bagian Hukum Pidana FH Unibraw Malang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS