PENTINGNYA OPTIK SOSIAL DALAM KAJIAN HUKUM PIDANA

Oleh : Faizin Sulistio[1]

Tulisan sederhana ini mencoba menggambarkan relevansi dan urgen-nya penggunaan optik sosial dalam membedah keilmuan hukum khususnya dalam aspek hukum pidana. Aspek ini saya coba ambil mengingat pada saat ini sedang menekuni hukum pidana.

Bagi sebagian orang hukum, hukum pidana mungkin yang paling kaku dalam pengkajian hukum. Hal ini merupakan pengaruh kuat dari asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana khususnya pasal 1 ayat 1 yang berbunyi :

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan “

Asas ini membawa sebuah konsekuaensi dalam melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan, yaitu harus bertumpu pada :

(1) Suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.

Pandangan ini mempunyai dua makna, yaitu pertama, hukum hanya yang tertulis dalam undang-undang. Aturan hidup atau norma yang tidak tertulis bukan merupakan hukum. Kedua, larangan adanya analogi dalam hukum pidana.

(2) Peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Hal ini membawa konsekuensi adanya larangan retroaktiv (Sudarto, 1990: 22-23).

Dalam perkembangan asas legalitas sebenarnya sebenarnya mulai melunak dengan memberi ruang bahwa hukum bukan hanya yang tertulis, seperti yang tercermin dalam :

a. UU No. 1 Drt. 1951 Pasal 5 (3) sub b

o bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum;

o bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hu-kuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

b. UU Kekuasaan Kehakiman No. 4/2004 :

o Pasal 25 (1) : Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

o Pasal 28 (1) : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

c. Pasal 18B (2) UUD’45 (amandemen ke-2) :

Negara mengakui dan meng-hormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Akan tetapi, adanya jaminan undang-undang tentang pengakuan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat ternyata tidak serta merta membuat akademisi dan praktisi hukum mencoba mengurai hukum dalam perspektif yang lebih luas diluar hukum (sosiologis, Antropologis dsb). Istilah Satjipto Rahardjo masih terbelenggu pikiran normative-Positivis, yaitu pemikiran yang mengesampingkan hukum sebagai fenomena yang lebih besar, melampaui batas-batas positivis.

Belenggu pemikiran normative positivis ternyata menyebabkan keterpurukan dalam hukum, sehingga untuk keluar dari keterpurukan hukum maka harus membebaskan diri dari belenggu positivis. Hal ini karena pemikiran positivis-legalistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) tidak akan pernah mampu dan dapat menangkap hakikat kebenaran (Ahmad Ali, 2002 :48). Sehingga perlu ada pemikiran yang responsive terhadap rasa keadilan dalam masyarakat untuk mencari dan mengurai benang keadilan dan kebenaran. Pemikiran ini dilandasi bahwa bangunan hukum dibangun oleh hubungan antar manusia sebagai hubungan sosial antar individu dengan keseluruhan variasi dan kompleksitasnya yang cenderung sifatnya asimetris. Dalam artian hukum tunduk pada kekuatan sentripetal yang menciptakan keteraturan,sekaligus tunduk pada kekuatan sentrifugal yang menciptakan ketidakteraturan (disorder), chaos maupun konflik. Sehingga hukum tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang kaku (formal-legalistik-positivis) tetapi harus lentur memperhatikan fakta dan realitas sosial ( Charles Stamford, 1989 :223).

Hal inilah yang sebenarnya ingin dicapai oleh penganut pemikiran yang melintasi batas positivis antara lain socio legal studies yang berprinsip bahwa hukum bukan berada dalam ruang kosong dan hampa yang steril dari aspek atau sistem yang lain. Hal ini berangkat dari pemikiran berikut :

1. Hukum (tertulis) merupakan produk politik, karena merupakan produk politik maka bisa jadi terdapat agenda politik didalamnya. Dalam teori hukum hal ini sejalan dengan pemikiran fungsi hukum : Law as a tool of social control dan Law as a tool of social engineering yaitu sebagai alat untuk mengontrol dan menghegemoni rakyat sesuai dengan selera penguasa.

2. Sebagai produk politik bisa jadi hukum kurang mendapat legitimasi secara sosiologis dari masyarakat, sebagai contoh : RUU Pornografi dan Pornoaksi yang banyak melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan.

3. Pengaruh negara asing dengan hukum liberal yang kurang sesuai dengan budaya masyarakat sangat terasa dalam proses pembuatan perundang-undangan maupun dalam proses penegakan hukum. Sebagai contoh: RUU tentang PMA, contoh lain akhir-akhir ini polisi gencar melakukan razia terhadap warnet-warnet dan conter HP yang diduga memakai sofware bajakan sekaligus menangkap pengelolanya dengan tuduhan pelanggaran terhadap UU Merek.

4. Penegak Hukum mempunyai ekspektasi dan Orientasi yang dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial-politik dan lingkungannya. Proses penegakan hukum akhirnya hanya tebang pilih selaras dengan agenda politik.

5. Secara Khusus dalam hukum pidana (KUHP) merupakan warisan kolonial yang sudah saatnya secara substansi disesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia.

Untuk itu, khususnya dalam penegakan hukum pidana tidak hanya sekedar memenuhi kehendak undang-undang atau aturan tertulis., melainkan harus melihat nilai sosiologis-rasional yang menghendaki hukum mempunyai utility dan equity.

Hal inilah yang saya kira perlu dan penting disampaikan dalam proses pembelajaran mahasiswa hukum, sehingga ketika menjadi praktisi hukum tidak menggunakan kaca mata kuda dalam menerapkan bunyi text undang-undang.

DAFTAR RUJUKAN :

Ahmad Ali, 2002 . Keterpurukan Hukum di Indonesia penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta

Charles Stamford, 1989. The Disorder of law : A Critique of legal theory, basil Blackwell, New York, USA.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana I, yayasan Sudarto, FH Undip, Semarang

Satjipto Raharjo,2000. Teaching Order Finding Disorder, Universitas Diponegoro, Semarang.



[1] Penulis merupakan anggota bagian Hukum Pidana FH Unibraw Malang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: