Pemikiran mengenai kaitan antara filsafat dan politik sebenarnya sudah bisa ditemukan dalam gagasan Plato yang memahami filsafat dan politik dalam terma-terma yang sama; tujuannya adalah untuk merasionalisasikan tatanan politik menurut hasil-hasil permenungan filosofis dan untuk melembagakan pencarian pengetahuan filosofis sebagai prinsip utama tatanan politik. Pemikiran ini juga dilanjutkan oleh Aristoteles yang memandang politik sepenuhnya sebagai praksis, yang banyak bergantung pada kebiasaan-kebiasaan yang baik dan pemikiran yang jernih.
Nietzsche mendukung gagasan mengilustrasikan filsafat sebagai praktik pembentuk kehidupan-perjuangan dan kegagalan serta gelombang-pasang energi ekstatik-yang mengubahnya dari bentuk idealisme melalui ribuan malam-malam gelap menuju pencapaian kemajuan yang bersemangat.
Seperti Nietzsche, Gramsci mengatakan bahwa 'filsafat yang sejati bukan merupakan cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung seluruh anasir fundamental yang dibutuhkan untuk mengonstruksi konsepsi tentang dunia yang total dan integral dan segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi masyarakat politik yang integral dalam kehidupan manusia'. (Gramsci, Selections from Prison Notebooks, 1933). Oleh karenanya, politik Gramsci mengarahkan dia pada filsafat, dan filsafatnya sepenuhnya bersifat politis. Dengan kata lain, Gramsci melihat filsafat sebagai pendidikan politik, dan politik sebagai arena untuk menerapkan pengetahuan filosofis.

Gramsci sepenuhnya sepakat dengan Sartre bahwa yang dibutuhkan adalah 'sebuah teori yang meletakkan pengetahuan di dalam dunia dan yang menentukannya dalam negativitasnya. Dan harus dipahami bahwa mengetahui bukanlah pengetahuan tentang ide-ide, tetapi pengetahuan praktis tentang segala hal'. (Sartre, "Search for a Method", 1963).

Gagasan ini kemudian diteruskan oleh Karl Marx yang memandang bahwa filsafat sejati bersifat autodidak: manusia yang bekerja, berproduksi, dan berpikir adalah pendidikan bagi diri mereka sendiri melalui berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Marx memandang bahwa praksis individu berada dalam hubungan dialektis dengan sejarah; melalui praksis, manusia secara kolektif menciptakan sejarah mereka, yang kemudian membatasi dan mensyaratkannya. Filsafat dan pendidikan politik, dalam pemikiran Marx, cenderung dijelaskan menjadi persoalan-persoalan instrumental yang hanya bisa dipecahkan melalui rasionalitas teknis dan organisasional.

Jelas bahwa peran filsafat sangat penting untuk memunculkan kesadaran yang lebih mendalam tentang realitas kehidupan yang kita hadapi. Selama ini, bangsa kita terjebak dalam pola-pikir-meminjam istilah Jameson, epthlessness sebagai akibat dari terlalu silaunya kita dengan penampakan dan bentuk, tetapi sering mengabaikan substansi dan hakikat sesuatu. Oleh karenanya, ada baiknya kita merenungkan kembali gagasan-gagasan dari para pemikir di atas perihal filsafat sebagai pendidikan politik, mengingat politik tanpa dilandasi pemikiran yang jernih dan perenungan mendalam tentang realitas kehidupan yang kita hadapi hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang jauh dari memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Gramsci mengklasifikasikan kaum intelektual menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator yang secara terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi, yang sebagian besar (atau seluruh kerjanya) didasarkan pada kepentingan ilmiah; dan kedua adalah intelektual organik, yang dipandang Gramsci sebagai kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Intelektual organik inilah yang kemudian membawa angin perubahan dalam masyarakat karena mereka bekerja berdasarkan kepentingan praktis. Dan ke arah mana perubahan itu-perbaikan dan keruntuhan-banyak tergantung pada para politisi dan pengusaha yang menggunakan jasa intelektual untuk kepentingannya, selain otonomi atau kemandirian seorang intelektual untuk menerima atau menolak 'pesanan' tertentu.

Upaya untuk mengaitkan filsafat dengan politik dan transformasi sosial dalam masyarakat juga terdapat dalam pemikiran tokoh-tokoh teori kritis yang, menurut Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1972), membedakan dirinya dari teori 'tradisional' dengan mengklaim sebagai teori yang memiliki 'maksud praktis'. Dalam hal ini, teori kritis menemukan inspirasinya dalam "Theses on Feurbach" kesebelas-nya Marx yang terkenal: Selama ini, para filsuf hanya menginterpretasikan dunia, dengan beragam cara; padahal yang lebih penting adalah bagaimana mengubahnya.

Teori kritis merupakan kritik terhadap kapitalisme, apropriasinya atas nilai-nilai kolektif, dan komodifikasinya atas segala aspek masyarakat modern. Ia memberikan pemahaman yang lebih baik atas kondisi-kondisi sosial sekarang, bagaimana kondisi-kondisi ini berubah, bagaimana kondisi-kondisi ini ditransformasikan, bagaimana kondisi-kondisi ini berinteraksi satu sama lain, hukum-hukum apa yang mengatur transformasi mereka, dan bagaimana kondisi-kondisi itu mempertahankan keabsahannya. Tugas yang kompleks ini dicapai melalui pendekatan multi-disiplin yang memadukan berbagai perspektif yang berasal dari banyak bidang kajian yang berbeda. Bidang-bidang ini termasuk kajian ekonomi, sejarah, filsafat, politik, psikologi, dan sosiologi. Namun, tidak berarti bahwa teori kritis hanya terbatas pada bidang-bidang ini. Bertentangan dengan kepercayaan banyak ilmuwan, teori kritis pada hakikatnya bersifat swa-refleksif dan dikendalikan nilai. Tujuan akhir dari teori kritis adalah mentransformasikan masyarakat sekarang menjadi masyarakat yang adil, rasional, manusiawi, dan damai.

Kita perlu mengutip pandangan Paulo Freire mengenai pentingnya pendidikan sebagai alat untuk membangun kesadaran politik, dengan harapan kita bisa bercermin dari pemikiran-pemikiran ini guna memperbaiki sistem pendidikan kita maupun tatanan politik bangsa kita menuju bangsa yang lebih berkeadilan dan demokratis.

Seperti ditulis oleh Peter L. Berger dalam "Pyramids of Sacrifice" (1974), pada permulaan tahun 1960-an, sebelum kaum militer melancarkan kudeta, Paulo Freire dan teman-teman sekerjanya melakukan percobaan dengan sebuah metode baru dalam pendidikan membaca dan menulis di kawasan Timur Laut Brazil. Gagasan dasar dalam pendekatan baru tersebut sederhana; mengajar membaca dan menulis bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari kegiatan lebih besar untuk memperluas cakrawala dari orang-orang yang sebelumnya buta huruf. Salah satu segi yag penting dari kegiatan ini bersifat politis. Orang-orang buta huruf itu belajar membaca dan menulis melalui pembahasan berbagai topik-yang disebut Freire sebagai generative themes yang menyangkut kehidupan sosial yang mereka alami sehari-hari. Bagi kaum proletar yang menjalani proses pemiskinan di kawasan Timur Laut tersebut, hal ini terutama berarti perampasan, pengisapan, dan penindasan. Tujuan pendidikan adalah menggabungkan 'alfabetisasi' dengan kesengajaan menanamkan kesadaran tentang fakta-fakta penindasan, dan juga pemahaman atas semua kekuatan (ekonomi, politik, struktur sosial) yang dianggap sebagai penyebab timbulnya fakta-fakta penindasan ini. Namun, Freire terutama berkepentingan untuk memupuk perkembangan kesadaran politik ketimbang pemberantasan buta huruf itu sendiri. Jadi, pada intinya, metodenya adalah metode pendidikan politik-lebih tepat, metode pendidikan untuk aktivitas politik.

Tujuan politis inilah, lebih daripada pembahasan, pembaruan teknis dalam pendidikan membaca dan menulis, yang menimbulkan minat terhadap metode Freire di seluruh dunia. Ia menyebut metodenya sebagai concientizacao-secara harfiah berarti 'menyadarkan'. Istilah itu kemudian terkenal di dunia internasional-sebagai concientizacion di Amerika Latin, sebagai Bewusstmachung di kalangan kiri Jerman, dan sebagai consciousness raising di Amerika Serikat. Dalam pemakaian istilah itu yang biasa sekarang ini, kaitan pendidikannya yang asli dikesampingkan. Namun, 'peningkatan kesadaran' dipandang sebagai metode untuk mengajar kelompok tertindas apa pun juga agar memahami kondisinya dan menggiatkan mereka secara politis demi mengubah kondisi mereka sendiri.

"Pedagogy of the Oppressed"-nya (1970) Freire juga memusatkan perhatian pada a transformed consciousness semacam ini, tetapi didedikasikan untuk pemberdayaan kaum tertindas (para petani miskin di Amerika Tengah) melalui berbagai macam metode, termasuk self-directed dan pendidikan yang tepat. Ia juga merujuk pada kesadaran palsu dari para penindas, dan menekankan kebutuhan untuk mengarahkan penindas agar mau melihat bagaimana reifikasi telah mengakibatkan dehumanisasi baik terhadap penindas maupun yang ditindas. Fokus utama Freire terletak pada upaya transformasi sosial para oligarki politis masyarakat Amerika Latin dengan memberi pendidikan baik kepada penindas maupun yang ditindas melalui swa-refleksi kritis (conscientisation) mengenai situasi sosial-politik yang mereka hadapi untuk kemudian mengubahnya menjadi situasi yang lebih baik, lebih adil, dan lebih manusiawi (
Ton Abdillah Has).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS